DINAMIKA PSIKOLOGIS SEORANG GAY
Studi Kasus pada Pelaku Gay
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dinamika psikologis
pada pelaku gay dan bahasa gaul yang digunakan para pelaku gay dalam
komunitasnya. Subyek dalam
penelitian ini adalah pada pelaku gay berusia 26 tahun
berstatus seorang mahasiswa. Metodologi dalam penelitian ini adalah studi
kasus, dengan melakukan observasi, wawancara, dan dokumentasi pada subjek
penelitian. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah teknik
analisis dan interpretasi data Stevick-Colaizzi-Keen yang telah dimodifikasi
oleh Moustakas. Adapun teknik verifikasi data dilakukan dengan menggunakan
triangulasi data. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika
psikologis dari subjek yang merupakan pelaku Gay adalah adanya perkembangan
psikologis dari aspek orientasi seksual, perilaku seksual, serta identitas
seksual. Selain memiliki dinamika psikologis, peneliti juga menemukan adanya
bahasa gaul pada komunitas homoseksual.
Kata Kunci : Gay, Dinamika Psikologis, Bahasa Gaul.
ABSTRACT
This research aims to
find out how the psychological dynamics of a gay, and language or slang
which
used by gay in their community. The subjects in this study is on a 26 years old gay actors as a student
of university. The methodology in
this study is a case study, by observation, interviews, and documentation on
the subject. While the data analysis techniques used are the techniques of data
analysis and interpretation Stevick-Colaizzi-Keen have been modified by
Moustakas. As for data verification technique using triangulation of the data.
The results of this research show that the psychological dynamics of the
subject which is the Gay actors is the development of the psychological aspects
of sexual orientation, sexual behavior and sexual identity. In addition to
having the psychological dynamics, researchers also found the presence of
language and the term Slang in homosexual communities.
Key Words : Gay, Psychological Dynamics, Slang.
Pendahuluan
Homoseksualitas adalah salah satu dari tiga kategori
utama orientasi seksual, bersama dengan biseksualitas dan heteroseksualitas, dalam kontinum
heteroseksual-homoseksual. Homoseksual
yang diperuntukkan antara laki dengan laki biasa disebut gay. (Wikipedia, 2012)
Homoseksualitas adalah rasa ketertarikan romantis dan/atau seksual atau perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas mengacu kepada "pola berkelanjutan
atau disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan
romantis" terutama atau secara eksklusif pada orang dari jenis kelamin
sama, "Homoseksualitas juga mengacu pada pandangan individu tentang
identitas pribadi dan sosial berdasarkan pada ketertarikan, perilaku ekspresi,
dan keanggotaan dalam komunitas lain yang berbagi itu." (Sexual
Orientation, Homosexuality dan Bisexuality, 2010)
Kaum gay memiliki ciri-ciri yang membantu mereka untuk
mengenali dan dikenali dengan sesama gay dan di dalam masyarakat. Gay lebih
menyukai mengenakan pakaian ketat, karena dapat memperlihatkan lekuk tubuh si
pemakai. Bagi gay, lekukan tubuh merupakan daya jual tersendiri. Gay lebih
senang memakai warna mencolok. Dalam berkomunikasi gaya bicaranya pun lebih
feminim dan perhiasan yang dikenakannya pun cenderung “ramai”. Bahkan itu
merupakan alat komunikasi sesama gay. Ciri lainnya adalah selalu tertarik pada
aktivitas yang biasanya dilakukan wanita. (Danis, 2011) Adanya gaya bicara yang
khusus dalam berkomunikasi antar pelaku gay juga ditemukan dalam penelitian
David Sonenschein (1969) yang dilakukan pada Komunitas homoseksual di salah
satu kota di barat daya Amerika Serikat, memberikan kesimpulan bahwa bahasa
yang bersifat khusus adalah salah satu cara utama di mana kelompok dapat
membantu pola dan memberikan makna terhadap pengalaman anggotanya.
Berdasarkan dari penelitian yang ditulis oleh Christa
Rohde-dachser pada tahun 1992, dikatakan bahwa laki-laki lebih cenderung
terkena penyakit HIV/AIDS, apalagi mereka seorang homoseksual yang melakukan
sex antara laki-laki dengan sesama jenisnya, karena berdasarkan penelitian yang
ditulis oleh Lil Penkhower, PHd. pada tahun 1991 juga mengatakan bahwa Hasilnya
secara empiris menunjukkan bahwa individu-individu yang terlibat dalam seks
yang beresiko dan peminum berat atau pengguna narkoba, memiliki kecenderungan
terkena penyakit HIV/AIDS.
Data Departemen Kesehatan Republik Indonesia hingga Juni
2012 melaporkan bahwa jumlah orang yang terinfeksi HIV dari Januari sampai Juni
2012 adalah 9.883 orang, sedangkan jumlah AIDS adalah 2.224 orang. Kasus kematian
pada tahun 2012 karena HIV/AIDS dilaporkan 5623 orang. Di sisi lain, data dari
KAP (Key Affected Population), menunjukkan bahwa laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) yang terinfeksi HIV/AIDS meningkat
menjadi 13% pada tahun 2008. Departemen kesehatan tahun 2008 menyebutkan, dari
kumulatif 15.210 penderita HIV/AIDS 54% adalah remaja. Hal serupa terjadi di
Malang dimana prevalensi HIV/AIDS sangat signifikan. Data
IBBS 2007, menyatakan bahwa prevalensi HIV/AIDS pada komunitas LSL sebesar 5,6%.
Selain itu, prevalensi Sifilis sebesar 4%,
prevalensi Gonore dubur sebesar 14,9%, dan prevalensi Chlamydia rektal 21,3%. (“Dampak Self Stigma terhadap
Perilaku Beresiko Penularan HIV/AIDS pada GWL Muda di Malang, Indonesia”, 2013)
Belakangan ini kaum homoseksual khususnya kaum gay
semakin berani untuk mengungkapkan keberadaan atau eksistensinya dalam
masyarakat, hal ini ditandai dengan informasi-informasi yang berkembang di
media massa tentang berita yang menceritakan kehidupan kaum gay sehingga
menyebabkan berkembangnya kelompok-kelompok atau komunitas sebagai wadah
aktualisasi yang dapat menampung aspirasi dan kreatifitas dari kaum yang
dianggap marginal ini. (Danis, 2011)
Sebenarnya komunitas gay sudah lama terbentuk di
Indonesia. Pada tahun 1969 Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) merupakan kelompok
yang menaungi kaum homoseksual di Jakarta, disusul dengan LAMBDA pada tanggal 1
Maret 1982 merupakan organisasi gay pertama yang terbuka di Indonesia bahkan di
Asia dengan sekretariat yang berada di Solo, dengan waktu yang singkat
terbentuklah cabang-cabangnya di Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, dan
tempat-tempat yang lain. Akibat dari munculnya organisasi LAMBDA, pada tahun
1992 terjadi ledakan berdirinya organisasi-organisasi gay di Jakarta, Bandung,
Pekanbaru, dan Denpasar, dan tahun 1993 menyusul di Malang dan Ujungpandang. (Lihat
http://www.eramuslim.com/berita/analisa/ tentang
di-balik-keberanian-kongres-gay-di-surabaya.htm Oleh anonym Diakses pada
tanggal 11 April 2010).
Maraknya dibentuk komunitas-komunitas yang mewadahi aktualisasi
kaum gay di kota-kota besar seperti yang telah digambarkan di atas, membawa
pengaruh juga pada sekelompok kaum gay di Malang untuk membuat sebuah komunitas
yang formal yang bertajuk Ikatan Gay Malang atau IGAMA. Menurut data yang
peneliti peroleh dari Awal pembentukan organisasi ini dipelopori oleh Yoseph
Abilsana yang dibantu oleh beberapa rekan-rekan sehati di Malang. Pada waktu
itu ada sekitar dua belas (12) aktivis seperti Yoseph Abilsana, Didiet, Bram, Didiek,
Angga, Adjie, dan yang lainnya secara bersama-sama berjuang untuk mendirikan
organisasi untuk rekan-rekan yang memiliki kesamaan persepsi dan pandangan
terhadap masalah kesehatan laki – laki. (Danis, 2011)
Atas dukungan Dede Oetomo pendiri Gaya Nusantara (GN) Surabaya,
akhirnya diresmikanlah organisasi IGAMA yang bertepatan dengan tanggal 01 April
1993. Akhirnya, secara resmi IGAMA didaftarkan ke Pengadilan Negeri Malang
lewat notaris Sja'bany Bachry, SH yang berkedudukan di Jalan Mojopahit 3-A Malang
dengan nomor Akte No. 32 Tanggal 27 Agustus 2002 oleh empat serangkai aktivis
IGAMA (Mamad, Syaiful, Koko dan Henry). (Danis, 2011)
Kerangka Kerja
Teoretik
Penyebab Seseorang Menjadi Gay:
1.
Teori Biologis :
Perbedaan adalah sesuatu yang dibawa lahir
Banyak
gay yang menyatakan bahwa
orientasi seksual yang dimiliki adalah hasil yang muncul dari faktor biologis, sehingga mereka idak memiliki
kendali ataupun pilihan terhadap orientasi seksualnya.
Menurut pandangan
biologis penyebab seorang pria menjadi
gay adalah:
a)
Faktor Genetik
Kallman (dalam Maters, 1992), melaporkan bahwa
kondisi homoseksualitas adalah kondisi genetik. Kesimpulan ini diambil dari
penelitian yang dilakukan terhadap kembar yang identik dan kembar fraternal.
Penelitian menemukan jika salah satu saudara kembar adalah seorang gay,
kemungkinan saudara kembarnya juga adalah seorang gay. Penelitian lainnya menemukan bahwa gay
dapat diturunkan, jika dalam sebuah keluarga ada seorang gay, gay tersebut juga memiliki cenderung
memiliki saudara laki-laki, paman atau sepupu yang juga gay.
b)
Faktor Hormonal
Menurut teori ini, hormon seks berperan dalam menentukan orientasi seksual seseorang (Savin-Williams &
Cohen, 1996). Hormon testosteron
ditemukan lebih rendah dan hormon estrogen lebih tinggi pada
seorang gay (Meyer
et al, dalam Masters,1992). Hasil penelitian lain menemukan gay
memiliki tingkat androgen yang
lebih rendah dibandingkan pria straight.
c)
Urutan Kelahiran
Berdasarkan penelitian hubungan urutan kelahiran
dengan kecenderungan pria menjadi gay
ditemukan seorang gay cenderung lahir pada urutan terakhir dengan memiliki saudara laki -laki tetapi tidak memiliki saudara
perempuan (Caroll, 2005).
2. Teori Perkembangan
a)
Pandangan Sigmund
Freud
Freud yakin bahwa homoseksualitas merupakan hasil
dari kelanjutan predisposisi mengenai manusia yang terlahir dengan keadaan
biseksual. Dibawah lingkungan biasa,
psikoseksual berkembang pada masa kanak-kanak yang berhadapan dengan kehidupan
heteroseksual, tetapi pada kondisi lingkungan tertentu, perkembangan yang
normal mengalami gangguan dalam tahap “ketidakmatangan”, dan menghasilkan
homoseksualitas dalam masa dewasa
(Masters, 1992). Freud yakin ada satu tahap dalam perkembangan manusia
yang tertarik kepada jenis kelamin yang
sama, dan kebanyakan kaum homoseksual
melewati masa tersebut beberapa tahun sebelum masuk ke dalam masa
pubertas (Savin-Williams &
Cohen,1996). Pada homoseksual, perkembangan tersebut dialami lebih lambat bila dibandingkan dengan
orang normal pada umumnya, dan
mengalami fixasi dalam tahap ketertarikan kepada jenis kelamin
yang sama. Fixasi tersebut terjadi karena keadaan ibu yang
terlalu dominan, juga karena ayah yang
terlalu dominan. Homoseksualitas juga dapat disebabkan trauma pada masa kanak-kanak, dimana selama masa kanak-kanak
awal mendapatkan penyiksaan dari saudara
kandung, teman bermain ataupun orang dewasa (Cameron dalam Savin-Williams, 1996).
b)
Bieber’s Model
Bene (dalam Masters, 1996) menyatakan seorang gay
memiliki hubungan yang kurang
dengan ayahnya dibandingkan dengan pria straight. Greenbal (dalam
Masters, 1992) menemukan ayah dari seorang
gay bersifat dominan, tidak
protektif, sementara ibu seorang gay memberikan perlindungan dan dominansi yang
berlebih-lebihan). Pendapat Marmor (dalam Masters,1992) mengenai gay, gay
bisa juga muncul dari keluarga dengan kondisi jauh dari ibu, atau ibu
yang pemarah, terlalu dekat dengan ayah, tidak memiliki ayah atau ibu yang
ideal, dan ketidakberadaan figur ayah atau ibu.
c. Teori Behavioral
Teori behavioral menekankan pada homoseksualitas
yang muncul karena proses belajar
(McGuire et al dalam Masters, 1992). Homoseksual muncul
karena adanya penguatan positif atau
reward terhadap pengalaman homoseksualitas dan hukuman atau penguatan negatif terhadap
pengalaman heteroseksualitas.
Masters (1992) menyatakan teori behavioral
juga menduga pada masa dewasa dini seorang heteroseksual bisa berubah
menjadi homoseksual. Menurut Feldmen dan
MacCulloch (dalam Masters, 1992), jika seseorang mengalami pengalaman heteroseksual yang tidak menyenangkan
kemudian mendapatkan penguatan dalam
pengalaman homoseksualitas, ada kemungkinan heteroseksual tersebut akan
menjadi homoseksual.
Pria homoseks
dikenal dengan sebutan “gay”, dan wanita homoseks dikenal dengan sebutan
“lesbi”. Untuk saat ini, kaum gay-lah yang banyak disoroti oleh masyarakat
karena perilaku kaum gay terlihat sangat tidak wajar dibandingkan perilaku kaum
lesbi. Orang akan menilai wajar apabila melihat dua orang wanita yang saling
bergandengan mesra bahkan bila melihat sepasang wanita saling berciuman pipi di
tempat umum. Perilaku tersebut akan dinilai lain apabila dilakukan oleh
sepasang laki-laki, orang awam akan merasa risih atau heran dengan perilaku
mereka, bahkan tak jarang hal ini akan menjadi buah bibir dan bahan cemoohan
bagi masyarakat kebanyakan. Meskipun begitu, nampaknya kaum homoseks tidak lagi
malu-malu dalam mengakui jati diri mereka, hal ini terbukti dengan berdirinya
Kelompok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara (KKLGN) pada tanggal 1 Agustus 1987,
oleh Dede Oetomo beserta pasangannya Rudy Mustapha. KKLGN menjadi suatu
organisasi gay dan lesbi yang bertujuan utama agar kaum gay, lesbi, dan waria
dapat diterima sebagai kelompok yang hak dan kewajibannya sama dengan kaum
heteroseksual di masyarakat Indonesia. (Danis, 2011)
IGAMA menjadi salah satu
organisasi dan komunitas Gay di Malang. Pada awal tebentuknya organisasi ini kegiatan awalnya hanya menjadi wadah
bagi komunitas MSM (Men who have Sex with Men) untuk saling mengenal dan
bersosialisasi, dengan ragam kegiatan yang terbatas seperti: arisan, acara
rekreasi bersama, kegiatan pentas seni dan rapat anggota. Agar bisa diterima
oleh semua kalangan dan semua elemen komunitas MSM serta masyarakat akhirnya
dipilihlah konsep dengan format dan konsep baru, menjadi sebuah lembaga yang
memberikan pelayanan dan support bagi seluruh komunitas MSM dari berbagai
elemen dan kelompok, baik yang terbuka ataupun yang tertutup dengan berbagai
program kegiatan, dalam kaitannya dengan kesehatan seksual laki-laki (termasuk
program penanggulangan HIV/AIDS). (Danis, 2011)
Dampak dari dibentuknya organisasi IGAMA yang telah
diakui dan dipantenkan keberadaannya ini membawa pengaruh kepada keterbukaan
kaum gay dalam menunjukkan eksistensinya dengan cara mereka membentuk suatu
kelompok-kelompok non formal (gang) diantara kaum gay di kota Malang. Seperti
gang Bidadari, gang Cantik, gang Lollypop, Keluarga Cendana, Keluarga Kelantan
dan lain sebagainya. Kelompok-kelompok ini sebagai wadah untuk sarana interaksi
dan komunikasi secara sosial diantara kaum gay yang tergabung di dalam gang
tersebut. Dalam kelompok ini mereka juga mengembangkan bahasa-bahasa in group
yaitu bahasa yang hanya dimengerti oleh sekelompok orang dalam suatu kelompok,
yang diadaptasi dari bahasa gaul yang sudah tercipta sejak lama sebagai
identitas dari kelompok atau gang mereka seperti capcus, rumput, lekong dan
lain sebagainya. (Danis, 2011)
Berdasarkan gambaran di atas peneliti mempunyai
ketertarikan untuk mengetahui dinamika psikologis seorang pelaku Gay yang akan
dikaji dari pekembangan orientasi seksual, perilaku seksual, dan identitas
seksual. Di samping itu, peneliti juga ingin mengetahui bahasa-bahasa gaul yang
gunakan para pelaku gay untuk saling berkomunikasi.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada seorang laki-laki yang orientasi
seksualnya adalah homoseksual, yaitu orang dengan pilihan partner seksual dari
jenis kelaminnya sendiri (Masters, 1992). Berdasarkan latar belakang
permasalahan, maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
studi kasus. Studi kasus, seperti yang dirumuskan Robert K. Yin (2008;1),
merupakan sebuah metode yang mengacu pada penelitian yang mempunyai unsur how dan
why pada pertanyaan utama penelitiannya dan meneliti masalah-masalah
kontemporer (masa kini) serta sedikitnya peluang peneliti dalam mengontrol
peritiswa (kasus) yang ditelitinya. Penelitian ini akan melibatkan seorang
pelaku gay yang berusia 26 tahun yang berstatus sebagai Mahasiswa di salah satu
Universitas di kota Malang sebagai responden dan seorang informan yang
merupakan teman subjek.
Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luwes,
teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian,
serta sifat objek yang diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara dan observasi. Sedangkan teknik analisis
data yang digunakan adalah teknik analisis dan interpretasi data
Stevick-Colaizzi-Keen yang telah dimodifikasi oleh Moustakas. Adapun teknik
verifikasi data dilakukan dengan menggunakan triangulasi data. Dimana dalam pengertiannya
triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian
(Moloeng, 2004 : 330)
3. Hasil Penelitian
Dalam kajian
ilmu psikologi, homoseksual sudah bukan lagi merupakan sebuah penyimpangan.
Dalam DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder / buku acuan
diagnostik secara statistikal dalam menentukan gangguan kejiwaan), tidak
ditemukan lagi homoseksual sebagai gangguan kejiwaan dengan alasan bahwa kaum
homoseksual tidak merasa terganggu dengan orientasi seksualnya, bahkan bisa
merasa bahagia dengan orientasi seksualnya tersebut. DSM adalah buku panduan
psikologi dalam menentukan normal tidaknya sebuah perilaku. (http://www.psychologymania.com, 2011)
Sebelumnya pada
DSM I (1952) menyatakan bahwa homoseksual adalah gangguan sosio phatik, artinya
perilaku homoseksual tidak sesuai dengan norma sosial, sehingga merupakan
perilaku yang abnormal. Pada DSM II (1968) menyatakan bahwa homoseksual adalah
penyimpangan seks (sex deviation), dipindahkan dari kategori gangguan sosio
phatik. Dan pada DSM III (1973) menyatakan bahwa homoseksual dikatakan gangguan
jika orientasi seksualnya itu mengganggu dirinya. Dan pada revisi DSM III
homoseksual sudah dihapus sebagai sebuah gangguan. Bahkan menurut Robert L.
Spitzer (ketua komite pembuatan DSM III saat itu) menyatakan bahwa
homoseksualitas tidak lebih dari sebuah variasi orientasi seksual. Tidak lebih
dari itu. (http://www.psychologymania.com, 2011)
Banyak hal yang
melatarbelakangi Seseorang bisa menjadi pelaku gay. EP adalah salah
seorang laki-laki yang menyukai sesama jenis, dia memulai hubungannya dengan sesama
jenis dari umur 17 tahun. Dikaji
dari dinamika kejiwaan dan penerimaan dirinya, EP adalah Homoseksual egodisto, yaitu homoseksual yang dapat memahami keadaan
dirinya, memiliki dinamika kejiwaan yang baik, dapat beraktualisasi diri dan
tidak terhambat dalam hubungan personal-sosial, pekerjaan, dll.
Bene (dalam Masters, 1996) menyatakan seorang gay
memiliki hubungan yang kurang
dengan ayahnya dibandingkan dengan pria straight. Greenbal (dalam Masters,
1992) menemukan ayah dari seorang
gay bersifat dominan, tidak
protektif, sementara ibu seorang
gay memberikan perlindungan dan
dominansi yang berlebih-lebihan). Pendapat Marmor (dalam Masters,1992) mengenai gay, gay
bisa juga muncul dari keluarga dengan kondisi jauh dari ibu, atau ibu
yang pemarah, terlalu dekat dengan ayah, tidak memiliki ayah atau ibu yang
ideal, dan ketidakberadaan figur ayah atau ibu. Pendapat Marmor (dalam
Masters,1992) sangat membantu dalam memahami penyebab EP menjadi pelaku gay. EP
tumbuh menjadi seorang anak yang merasakan ketidakberadaan figur ayah dan ibu,
karena kedua orang tua EP sibuk bekerja dari pagi hingga sore hari. Sehari-hari
EP lebih sering diasuh oleh bibinya. Hal ini yang membuat EP sulit mengidentifikasi
peran dari seorang ayah maupun seorang ibu, sehingga EP memiliki kecenderungan
orientasi seksual sebagai homoseksual.
Kecenderungan pada masa kecil EP semakin didukung oleh keadaan kondisi
fisik EP yang tidak cukup kuat. Pada waktu kecil, EP pernah didiagnosis
mengidap penyakit oesteoporosis. EP tidak bisa melakukan sesuatu hal yang berat, seperti misalnya olahraga yang
maskulin. Sehingga kelemahan kondisi fisik EP membuat efeminimitas (David Sonenschein,
1969) yang
ada pada diri EP menjadi semakin kuat.
Dalam penelitian Jameson K. Hirsch & Jon B. Ellis pada tahun
1998, dimana temuan dari hasil penelitian tersebut mengungkapkan kemanjuran diri, harapan,
dan keyakinan dalam hidup yang tinggi sebagai seorang homoseksual sebagimana
kemanjuran diri, harapan, serta keyakinan tinggi yang dimiliki oleh seorang heteroseksual.
EP memiliki
keinginan untuk berubah, namun setelah ia mencoba menjalani proses perubahan
yang cukup lama, akhirnya EP merasa pasrah dengan apa yang didapatnya saat ini.
EP juga memiliki
harapan tinggi meski dia pasrah menjalani hidup sebagai pelaku gay. EP masih
berharap akan datangnya sebuah hidayah yang dapat merubah dirinya, agar EP bisa
mengarungi kehidupan sebagai seorang lelaki sejati.
Dinamika
Psikologis
Kata-kata homoseksual ini dapat mengacu pada tiga aspek: Orientasi
Seksual, Perilaku Seksual, dan Identitas Seksual (Wikipedia, 2009). Guna
mengetahui dan memahami dinamika psikologis dari seorang pelaku gay, peneliti
mencoba mengkajinya dengan hal-hal yang terkait dengan pekembangan Orientasi
Seksual EP, perkembangan Perilaku Seksual EP, dan perkembangan Identitas
Seksual EP. Berikut adalah hasil penelitian dan pembahasan mengenai dinamika
psikologis EP:
1. Orientasi
Seksual / Sexual Orientation
Orientasi seksual adalah pilihan sosio-erotis seseorang untuk
menentukan jenis kelamin partner seksualnya apakah dari jenis kelamin yang
berbeda atau jenis kelamin yang sama (Galliano, 2003; Lips, 2005). Orientasi
seksual secara garis besar dapat dibedakan menjadi:
a.
Heteroseksual, yaitu orang dengan pilihan partner seksual dari jenis kelamin
yang berlawanan (Masters, 1992).
b.
Homoseksual, yaitu orang dengan pilihan partner seksual dari jenis kelaminnya
sendiri (Masters, 1992).
c.
Biseksual, yaitu orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki
maupun perempuan (Masters, 1992).
Orientasi seksual - homoseksual yang dimaksud disini adalah
ketertarikan / dorongan / hasrat untuk terlibat secara seksual dan emosional
(ketertarikan yang bersifat romantis) terhadap orang yang berjenis kelamin sama
(Adesla, 2009). EP mulai menyadari bahwa dirinya memiliki ketertarikan pada
teman laki-lakinya sejak ia masih duduk di bangku SD. Pada saat itu EP tidak
dapat leluasa menyalurkan hasratnya, karena selain EP masih kecil, EP juga
tidak memiliki banyak ruang untuk bergerak. (Wawancara I, 22 Maret
2013)
American Psychiatric Association (APA) menyatakan bahwa orientasi
seksual berkembang sepanjang hidup seseorang. Seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan kehidupan EP, orientasi seksual EP mulai tersalurkan ketika EP menimba
ilmu di salah satu perguruan tinggi di kota Malang. Pada tahun 2004 EP mulai
menjalin hubungan dengan sesama jenis. (Wawancara I, 22 Maret 2013) EP pun
terlibat secara emosional, fisik, seksual, dan cinta pada pasangan gay-nya
untuk pertama kali. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Caroll (2005),
bahwa orientasi seksual merupakan
ketertarikan seseorang pada jenis kelamin tertentu secara emosional, fisik,
seksual, dan cinta.
EP tidak memiliki kecenderungan hasrat atau ketertarikan pada
perempuan. EP menjalin hubungan dengan pasangan pertamanya selama 3 bulan, dan
itu adalah waktu terlama EP dalam menjalani hubungan dengan pasangannya selama 9
tahun terakhir. (Wawancara I, 22 Maret
2013)
EP merasa bebas karena telah hidup mandiri di kota orang. EP pun
memanfaatkan minimnya pengawasan dari orang tua dan keluarga untuk menjalani
kehidupannya sebagai seorang pelaku gay. EP juga merupakan salah satu anggota
dari sebuah organisasi gay di Malang, IGAMA. IGAMA adalah organisasi untuk
rekan-rekan yang memiliki kesamaan persepsi (gay) dan pandangan terhadap
masalah kesehatan laki – laki. (Danis, 2011). Disamping itu, IGAMA juga menjadi
salah satu ajang bagi para pelaku gay untuk saling bertemu dan berkenalan,
hingga memungkinkan terjadinya hubungan yang lebih lanjut. EP mengaku bahwa tidak terhitung berapa banyak
pasangan dan sudah berapa kali dia melakukan perilaku-perilaku seksual pada
sesama jenis.
2. Perilaku
Seksual / Sexual Behavior
Homoseksual dilihat dari aspek ini mengandung pengertian perilaku
seksual yang dilakukan antara dua orang yang berjenis kelamin sama. (Adesla,
2009). Dalam hal ini, dengan enjoy
dan terbuka EP mengaku bahwa dia pernah melakukan perilaku-perilaku seksual
dengan pasangan gay-nya. (Wawancara I, 22 Maret 2013)
Perilaku seksual menurut Sarwono (2010:174) adalah segala tingkah laku yang
didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis.
Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan
tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan senggama. Objek seksualnya
bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri.
Perilaku seksual merupakan perilaku yang didasari oleh dorongan
seksual melalui berbagai perilaku, contohnya adalah berpegangan tangan,
berpelukan, cium kering, cium basah, meraba bagian tubuh, petting, oral seksual dan bersenggama (sexual intercourse) (Irawati, 1999)
Nevid, dkk., 1995 (dalam
Amalia, 2007:28) mendefinisikan perilaku seks sebagai semua jenis aktifitas
fisik yang menggunakan tubuh untuk mengekspresikan perasaan erotis atau
perasaan afeksi. Dalam menyalurkan hasrat seksualnya, EP
mengaku bahwa dia biasa melakukan seks anal dan seks oral dengan pasangan
gay-nya. Perilaku-perilaku tersebut dapat dilakukan ketika orang seperti EP
mempunyai keinginan untuk menyalurkan hasratnya (kondisional) ataupun karena untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi (pekerjaan). Kos, rumah, bahkan warnet pun menjadi
tempat biasa bagi EP dan pasangan gay-nya untuk mengekspresikan orientasi
seksual dengan perilaku-perilaku seksual tersebut. (Wawancara
I, 22 Maret 2013)]
Perilaku seksual EP tidak hanya terlibat sebatas kedekatan
fisik saja, EP juga kadang terlibat
secara emosional dengan pasangan gay-nya. EP mengatakan bahwa dia juga pernah
merasakan sedih, cemas, ataupun galau ketika sedang memilki masalah dengan
pasangan gay-nya. (Wawancara I, 22 Maret 2013) Hal ini semakin mendukung apa yang ditulis
Adesla (2009) dalam website-nya, “Human sexual behavior encompass a wide range of activities such as
strategies to find or attract partners (mating and display behavior), interactions between individuals, physical or emotional intimacy, and sexual contact.” (Perilaku seksual manusia melingkupi aktivitas yang luas seperti strategi
untuk menemukan dan menarik perhatian pasangan [perilaku mencari & menarik
pasangan], interaksi antar individu, kedekatan fisik atau emosional, dan
hubungan seksual.)
3. Identitas
Seksual / Sexual Identity
Sementara homoseksual jika dilihat dari aspek ini mengarah pada
identitas seksual sebagai gay atau lesbian. Sebutan gay digunakan
pada homoseksual pria, dan sebutan lesbian digunakan pada homoseksual
wanita. (Adesla, 2009)
Identitas Seksual adalah bagaimana seseorang mendefinisikan dan
memperkenalkan dirinya di masyarakat mengacu pada orientasi seksual tertentu. Tidak semua
homoseksual secara terbuka berani menyatakan bahwa dirinya adalah gay ataupun
lesbian terutama kaum homoseksual yang hidup di tengah-tengah masyarakat
/ negara yang melarang keras, mengucilkan, dan menghukum para homoseksual. Para
homoseksual ini lebih memilih untuk menutupi identitas mereka sebagai seorang gay
ataupun lesbian dengan tampil selayaknya kaum heteroseksual. Namun tidak
begitu halnya dengan EP, kepada peneliti, dengan terbuka dan terang-terangan EP
mengatakan bahwa dirinya adalah seorang gay. Teman-teman
EP pun menyadari dan menerima bahwa EP adalah seorang gay. Akan tetapi EP masih
belum memiliki keberanian untuk mengaku pada keluarganya. (Wawancara I, 22 Maret
2013)
Identitas seksual EP sebagai pelaku gay semakin didukung oleh
keterangan seorang informan berinisial T. T mengatakan bahwa EP memang seorang
gay. T juga mengatakan bahwa EP sering mangkal di stasiun. (Wawancara
II, 13 April 2013)
Dari paparan dan analisis data diatas, EP menunjukkan adannya
perkembangan dinamika psikologis dari aspek orientasi seksual, perilaku
seksual, maupun identitas seksual, sebagaimana yang telah dipaparkan
sebelumnya. Dinamika psikologis EP sangat jelas terlihat perkembangannya dari
rentang waktu pada masa kecil EP dan ketika EP sudah menjadi seorang mahasiswa.
Jika dulu pada masa kecil EP terhalangi untuk menyalurkan hasratnya, maka
ketika EP sudah mandiri dan menjadi seorang mahasiswa di Malang, EP mampu
menunjukkan eksistensi dirinya sebagai seorang pelaku gay. Bahkan, dengan
menjadi salah satu anggota di sebuah organisasi Ikatan Gay Malang, EP dan
teman-teman seperjuangannya seperti mendapatkan “wadah” untuk menyalurkan
hasrat dan keinginannya.
Bahasa Gaul
David Sonenschein (1969) melakukan penelitian terkait dengan bahasa-bahasa gaul yang ada
dalam komunitas homoseksual di salah satu kota di barat daya Amerika Serikat.
Selama jangka waktu satu setengah tahun di lapangan penelitian (1961-1963), istilah-istilah khusus dikumpulkan
dengan cara meminta informan untuk mendefinisikan dan menjelaskan berbagai kata
dan dengan pengamatan makna dalam
interaksi pada peristiwa yang sebenarnya. Dengan menggunakan pendekatan
etnografis, David menemukan adanya bahasa-bahasa gaul yang bersifat khusus, yang merupakan salah satu
cara utama di mana kelompok dapat membantu pola dan memberikan makna terhadap
pengalaman anggotanya.
Hal serupa juga ada dalam komunitas gay EP. Berikut kata-kata dalam bahasa
gaul yang peneliti peroleh dari EP. (Wawancara I, 22 Maret 2013)
Bahasa Gaul
Dalam Komunitas EP
NO.
|
ATURAN
|
KATA DASAR
|
BAHASA GAUL
|
1.
|
Diimbuhi
belakang –s
|
Banci
|
Bences
|
2.
|
Diimbuhi
belakang –ong
|
Banci
Laki-laki
Perempuan
|
Bencong
Lekong
Pewong
|
3.
|
Diimbuhi –in
pada setiap suku kata
|
Sate
|
Sinatine
|
4.
|
Plesetan
|
Makan
Lapar
|
Makasar
Lapangan
|
Hasil paparan data diatas menunjukkan bahwa memang dalam sebuah
komunitas gay terdapat beberapa bahasa gaul yang terdiri dari kata-kata dasar,
yang dimodifikasi dengan aturan-aturan menurut mereka sendiri. Sehinggga
muncullah kata-kata gaul yang digunakan para pelaku gay untuk saling
berkomunikasi satu sama lain.
4.
Simpulan dan Saran.
Dari paparan dan analisis data diatas, dapat disimpulkan bahwa EP
menunjukkan adannya perkembangan dinamika psikologis dari aspek orientasi
seksual, perilaku seksual, maupun identitas seksual, sebagaimana yang telah
dipaparkan sebelumnya. Dinamika psikologis EP sangat jelas terlihat
perkembangannya dari rentang waktu pada masa kecil EP dan ketika EP sudah
menjadi seorang mahasiswa. Jika dulu pada masa kecil EP terhalangi untuk menyalurkan
hasratnya, maka ketika EP sudah mandiri dan menjadi seorang mahasiswa di
Malang, EP mampu menunjukkan eksistensi dirinya sebagai seorang pelaku gay.
Bahkan, dengan menjadi salah satu anggota di sebuah organisasi Ikatan Gay
Malang, EP dan teman-teman seperjuangannya seperti mendapatkan “wadah” untuk
menyalurkan hasrat dan keinginannya.
Hasil paparan data diatas menunjukkan bahwa memang dalam sebuah
komunitas gay terdapat beberapa bahasa gaul yang terdiri dari kata-kata dasar,
yang dimodifikasi dengan aturan-aturan menurut mereka sendiri. Sehinggga
muncullah kata-kata gaul yang digunakan para pelaku gay untuk saling
berkomunikasi satu sama lain.
Daftar Pustaka
Burns, D. Buku Pegangan
Merasa Baik. (Edisi Revisi). Penguin: Harmondsworth. 1999.
Burns, D. Feeling Good:
Terapi suasana baru. (Edisi Revisi).
HarperCollins: New York. 1980.
Chaplin, J.P. (2000). Kamus
Lengkap Psikologi. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Christa Rohde-dachser. (1992). Male and
female homosexuality, International Forum of Psychoanalysis. Male and
female homosexuality. 1 (2), 67–73.
Corey, Gerald. (2005). Teori
dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama.
David
Sonenschein. (1969). The homosexual's language. Journal of Sex Research. 5 (4),
281-291.
Gorgi, A.,
& Giorgi, B. (2008). Qualitative
psychology: a practice to research methods. ed. Jonathan A. Smith. London,
Los Angeles, New Delhi, Singapore, and Whosington DC: Sage Publication
Imran, Irawati. 1999. Perkembangan Seksual Remaja. Jakarta :
Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional
Jameson K. Hirsch & Jon B. Ellis. (1998). Archieves of Suicide
Research. Reasons For Living in Homosexual And Heterosexual Young Adults. 4
(3) , 243-248.
Jarvis, Matt. (2006).
Teori-Teori Psikologi: Pendekatan Modern untuk Memahami Perilaku,
Perasaan dan Pikiran Manusia. Bandung: Nuansa.
Ledley, D., Marx, B. dan Heimberg, R. Membuat Cognitive Behavioral Therapy.
Jakarta:. Guilford Press. 2005.
Lil Penkower, PhD, Mary Amanda Dew, PhD, Lawrence Kingsley, PhD,
James T. Becker, PhD, Paul Satz; PhD, Frederick W. Schaerf MD, PhD, and
Kathleen Sheridan, JD, PhD. (1991). Behavioral, Health and Psychosocial Factors and Risk for HIV Infection among Sexually Active Homosexual Men: The Multicenter AIDS. Public
Health Briefs. 81 (2), 194 – 196.
Linehan, M. Kognitif-Perilaku Pengobatan Gangguan Kepribadian
Borderline New York: Guilford Press. 1993.
Moloeng, lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosda.
Oemarjoedi, A. Kasandra. (2003).
Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.
Santrock, JW. (1995). Life
span Development. Perkembangan Masa Hidup. Edisi kelima jilid dua. Jakarta.
Erlangga.
Sarwono, Sarlito W. (2010). Psikologi Remaja Edisi Revisi. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Wikipedia. (February 22, 2009). "Homosexuality."
This data retrieved from http://en.wikipedia.org/wiki/Homosexual
Wikipedia. (February 24, 2009). "Human
Sexual Behavior." This data retrieved from http://en.wikipedia.org/wiki/Human_sexual_behavior
Yin, Robert K. 2008. Studi Kasus : Desain dan Metode. Jakarta :
Rajawali Pers.
diposting oleh Nada Shobah dan Halimatus Sa'diyah
Every man deserves a pleasant and full relaxation time after his long-hour working. One of the way to reach that relaxing moment in your tiring day is to get your body massaged. Before continuing this message, let me introduce myself. My name's David, 30 year-old athletic man body. I will always ready to give a full body massage service. My current tariff for a full body massage is at RP 650.000 ($ 85) per hour per hour. For further info about the tariff and desired service required or offered, you may contact me at 081284007873/ +6281284007873. I only serve a CALL OUT SERVICE and MAN FOR MAN ONLY!
BalasHapusTeori diatas tidak membedakan mana gender dan orientasi sexual, karena hal itu berbeda, sebenarnya yang di bahas adalah expresi gender yaitu pria yang feminin, karena pada banyak kenyataannya pria feminin tidak semua berorientasi homosexual, ada yang bisexual dan heterosexual, karena ada juga pria macho yang dalam hal ini pria maskulin yang mempunyai orientasi homosexual, jadi tulisan diatas kurang akurat apalagi yang menggunakan satu responeden yaitu EP, dan satu hal lagi ada orientasi asexual yang tidak tertari pada sesama dan lawan jenis, dalam hal ini kebalikan dari bisexual, seperti hetero kebalikan dari homo.
BalasHapusBisa tolong rekomendasikan buku2 yg harus saya baca
HapusSangat membantu sekali kak info di blognya. Karena saya mahasiswa baru juga jurusan psikologi, jd msh awal bgt hrhehe
BalasHapusAss..bisa dikirimkan Studi kasus terkait dengan Homo seksual dan Lesbian serta bagaimana mereka merasakan birahinya.?? minta tolong ilmunya sedikit.
BalasHapusmaaf sebelumnya. saya kurang setuju mengenai hal yang menyatakan bahwa gay itu bisaa keturunan karena setau saya sudah ada penelitian yang mematahkan teori itu walaupun saya lupa baca dimana. lagi pula bukankah allah tidak menciptakan manusia dengan salah? atau pendapat saya yang salah
BalasHapusboleh minta jurnalnya kak?
BalasHapusbagi pdf bor sa,a duit seribu :(
BalasHapus